The Chance (#30harimenulissuratcinta)



I dedicate this story for you. 
I've been told not to tell anyone about things we had. I've promised you I wont ruin things. 

By this, I just wanna let you know that you are important enough for me to receive this. 

Well this is it. 

The Chance





“Yes! Akhirnya guys, PERADABAN!” seru Ahmad, salah satu teman satu kelompok KKN-ku.

Pesawat yang aku tumpangi dari Bandar Udara Sultan Iskandar Muda Aceh baru saja mendarat dengan mulus di Bandar Udara International Soekarno Hatta. Aku melihat jam tanganku. Masih ada 4 jam lagi sebelum penerbangan selanjutnya membawaku dan ke-23 temanku kembali ke Jogja.

“Jalan-jalan yuk,” kata Beta sambil mencolek bahuku.


“Nggak ah. Aku nunggu di Starbucks aja,” jawabku sambil tersenyum.

Setelah mengataiku “Ah kamu nggak asik,” Beta pun lalu meninggalkanku dan menggandeng Pipit. 

Aku hanya tersenyum saat Beta menoleh ke arahku dan menjulurkan lidahnya.

Sejenak setelah menyentuh lantai terminal tiga, kami pun akhirnya berpencar. Beta dan Pipit sepertinya keluar untuk mencari restaurant kesukaan Beta yang berada di terminal satu. Begitu juga teman-temanku yang lain, entah mereka berpencar kemana, yang jelas kami akan bertemu di boarding room empat jam dari sekarang. Sementara aku, langkahku langsung lurus ke stand Starbucks di lantai dua, terlalu malas untuk mengajak siapa-siapa.

Terlalu ingin menyendiri.

Sambil menunggu frappucino ku selesai dibuat, dari bangku yang tidak jauh dari counter pemesanan, aku memperhatikan orang-orang yang ada di sekitarku. Dari yang muda hingga yang tua. 

Ada seorang wanita yang usianya sekitar pertengahan 20-an ditemani seorang lelaki seumurannya yang duduk tidak jauh dari tempat aku duduk. Mereka sama-sama sedang melihat kepada laptop yang dibawa si wanita membahas suatu presentasi yang mungkin akan mereka lakukan ditempat tujuan mereka nanti.

Lalu ada seorang pria yang tengah menggendong putrinya yang sedang rewel, untuk menghentikan tangisnya, si pria bercerita kepada sang putri tentang apa-apa saja yang bisa ia lihat jika mereka sampai di rumah neneknya nanti.

Sebagian besar dari mereka membawa koper-koper yang besar namun tidak sedikit pula yang hanya menenteng tas-tas tangan atapun ransel, tapi apapun yang mereka bawa, mereka semua terlihat ‘terarah’.

Ya, ‘terarah’ adalah kata yang pas untuk mendeskripsikan raut-raut wajah dan gerak-gerik para penghuni terminal tiga ini. Mereka semua terlihat tahu kemana tujuan mereka dan apa yang akan mereka kerjakan di sana jika mereka sudah sampai nanti.

Begitu pula dengan aku. Aku juga memiliki arah selanjutnya setelah KKN ini benar-benar selesai.

Jika tidak ada delay, sekitar lima jam lagi aku sudah akan mendarat di Yogyakarta. Kota tempat aku dilahirkan, dibesarkan dan yah, tempat aku memiliki kehidupan yang sebenarnya. Lalu besok aku akan kembali ke bangku kuliah. Duduk, mendengar, mencatat, bertemu teman-teman dan menghadapi kenyataan. Meninggalkan dua bulan yang baru saja berlalu sebagai mimpi.

Mimpi. Mimpi yang nyata. Mimpi yang sudah ku seharusnya aku tinggalkan semenjak kapal feri itu membawaku pergi dari pulau Weh menuju Sumatera. Sebagaimana yang lelaki itu minta.

“…..Kamu toh punya kehidupan di sana. Kamu punya dia. Dia itu kenyataannya kamu, bukan aku,” terngiang kata-kata lelaki itu sehari sebelum kepulangan kami. Kata-kata yang mengiris perasaanku menjadi serpihan serpihan kecil. Membangunkan aku dari tidur dua bulanku.

Suara seorang pelayan berkuncir kuda membuyarkan lamunanku, memanggil namaku tanda pesananku sudah jadi.

“Sendirian aja mbak?” tanya pelayan itu ramah ketika mengambil uang dari tanganku.

Aku tersenyum sambil mengangguk. Walaupun aku sedang ber-24 bersama tim KKN-ku, pada kenyataannya kini aku sedang sendirian, kan?

Dipikir-pikir lagi bodoh juga ya aku, kenapa tadi sama sekali tidak ada inisiatif mencari teman? Mau jadi apa aku hanya bergaul dengan frappucino selama 4 jam?

Sambil menggeleng tidak habis pikir pada diriku sendiri, aku pun kembali ke bangku.

Seingatku, yang duduk di bangku ku terakhir kali sebelum aku mengambil pesananku hanyalah satu buah ransel biru milikku. Tapi kini setelah aku kembali, selain tas biruku yang masih tetap pada posisi awalnya, ada  seorang laki-laki yang duduk di kursi yang berhadapan dengan kursi yang diduduki tas biruku sambil menatap layar ponselnya. Ya, dia, dari ke-23 orang dalam tim kami, dialah satu-satunya orang yang ku harap tidak menemaniku saat ini.

Aku menghela napas dan mendudukkan tubuhku di tempat tas biruku setelah meletakkan tas itu di lantai.

Lelaki itu mendongak. Sambil memasukkan ponsel ke dalam saku celananya ia berkata, “Kok nggak gabung sama anak-anak?”

“Capek. Ini udah perjalanan dua hari lho ya kita dari Sabang. Kapal, bis, pesawat… enough. Gempor aku kalau disuruh jalan-jalan lagi,” jawabku jujur, “Kamu?”

“Sama.”

Lelaki itu lalu menyodorkan tas kresek putih kepadaku.

“Buat aku?” tanyaku yang hanya dijawab dengan anggukan. Lelaki ini memang kata-katanya sangat irit.

Ku raih plastik itu lalu ku ambil isinya. Sebuah novel Hear the Wind Sing and Pinball karya Haruki Murakami masih tersegel rapi. Lelaki ini pasti baru saja membelinya di stand buku tidak jauh dari stand kopi ini.

Mataku langsung beralih dari novel Murakami ke wajahnya. Aku yakin kini rautku pasti penuh dengan tanda tanya.

“Lumayan buat bunuh empat jam.”

“Thanks,” aku tersenyum simpul.

Ku masukkan kembali novel itu ke dalam plastik sebelum akhirnya ku raih tasku, ku buka lalu ku masukkan tas plastik putih itu ke dalam tas. Saat aku siap menutup resletingnya, lelaki itu mencegahku dengan bertanya, “Kok malah dimasukin?”

Aku kembali mendongak, menghentikan kegiatanku menutup resleting dan mencari kedua bola matanya yang kini tengah menatapku. Ada heran dan sedikit tersinggung disana.

Aku pun tersenyum dan berkata, “Kamu tahu nggak, for me, reading a book is actually a journey, it needs commitment in it, I’m not going to do it if I don’t feel like I will finish it.

“Kamu nggak suka?”

“Ini bukan tentang suka atau nggak, ini tentang apakah aku mau nyelesaiin sampai akhir atau nggak. Aku bisa aja suka sama separuh isi stand buku itu cuma gara-gara baca sinopsisnya, atau baca reviewnya di internet atau gara-gara pengarangnya yang udah kenamaan. Aku bisa aja beli buku-buku itu. Tapi kalau ternyata aku nggak mau baca sampai akhir, terus apa gunanya?”

“Dari mana kamu tahu kamu bakalan baca sampai akhir atau nggak kalau kamu bahkan belum pernah nyoba baca, even halaman pertama?”

“Dari mana kamu tahu kalau aku nggak beneran sayang sama kamu kalau kamu bahkan nggak pernah mau nyoba kasih aku kesempatan untuk ngebuktiinnya?” tembakku langsung. Siapa suruh menyusulku ke sini?

Dia terdiam, tampak memikirkan jawaban apa yang seharusnya ia lontarkan sekarang. Diam yang membuatku kesal. Bahkan untuk pertanyaan seperti ini, kenapa dia harus berpikir?

“Kamu pikir dua bulan ini apa, Ta, kalau bukan ngasih kamu kesempatan? Ngasih kita kesempatan?” tanggap lelaki itu. Aku tahu aku sudah membuatnya kesal. Tapi wajah itu tetap memandangku dengan tenang.

“Namanya bukan ngasih kesempatan kalau nggak ada percayanya sama sekali. Just like reading a book. Nggak bakalan jadi bagus juga kalau dari awal bacanya sambil negative thinking.”

“Aku nggak negative thinking. Aku waspada.”

Kuakui lelaki ini memang pantas untuk waspada. Dia memang harus waspada.

Gadis yang baru saja patah hati sangat berpotensi menjadi penjahat yang paling sadis. Ia akan menggilas siapa saja yang ada didekatnya untuk menyembuhkan lukanya sendiri atau sekedar penangkal sepi.

Gadis seperti itu, gadis sepertiku, dua bulan yang lalu.  Gadis yang baru saja bertengkar dengan pacarnya lalu berpisah. Lalu terisolir dua bulan di sebuah pulau di ujung barat negara bersama 23 teman dan seperti yang bisa ditebak, tertarik pada salah satunya.

“Kamu bukan waspada, tapi kamu pengecut,” kataku. Kata-kata yang kugunakan sekedar untuk membela diri.

“Aku nggak pengecut. Bukan kamu yang flirting duluan diantara kita.”

Sekali lagi dia benar.
                
Dia yang memberiku tumpangan kesana-kemari. Dia yang mengajakku menjajal makanan di setiap sudut kota Sabang. Dia yang mengajakku berkeliling melihat keindahan laut di setiap sudut pulau Weh.
                
Dia yang pertama mengulurkan tangan, terhadap gadis berbahaya ini, dan aku mengatainya pengecut.
                
Aku menyeruput frappucino ku, suatu bentuk excuse karena aku tidak mampu membalas kata-kata lelaki itu.
                
“Aku nggak mau cuma kamu jadiin pelarian aja, Ta.” Lelaki itu memecah keheningan. Membuka suara sambil menatapku lekat.
               
 “Aku nggak ngejadiin kamu pelarian.”
               
 “Dari mana aku tahu kamu nggak ngejadiin aku pelarian?”
               
 “I was asking you the question!” nadaku meninggi. Apa sih yang ada di kepala lelaki ini?
               
 Ya. Aku yang menyatakan. Aku yang menanyakan. Bagi seorang perempuan ini adalah hal yang sangat sulit untuk dilakukan, apakah dia tidak berpikir bahwa dia mendapatkan kehormatan?
                
“Aku suka kamu, aku nggak bisa bilang lebih sekarang. Tapi aku masih kepengen kamu ada disisiku, bahkan setelah kita selesai dari sini dan kembali ke Jogja. Jarak antara fakultas nggak akan bikin kita pisah kan?” tanyaku waktu itu.
                
Dan untuk pertanyaan seberani itu, bukannya mendapat apresiasi aku malah mendapatkan sakit hati ketika lelaki itu menjawab, “Yang ada disini biar disini aja ya, Ta. Kamu toh punya kehidupan di sana. Kamu punya dia. Dia itu kenyataannya kamu, bukan aku.”
               
 Ya Tuhan!
                 
Baguslah sekarang dia yang terdiam, semoga lelaki itu tertohok oleh kata-kataku.

“Kalau aja kamu udah berhenti berhubungan sama mantan kamu itu, mungkin aku percaya, Ta,” balasnya akhirnya. Dengan nada yang sangat rendah, nyaris berbisik.
                
Oh, jadi ini masalahnya.
                
“Aku nggak bisa berhenti berhubungan sama dia. Apalagi sekarang,” aku menatapnya tajam sebelum akhirnya aku lanjutkan, “Dia teman satu kampus aku, dia satu jurusan sama aku. Bahkan bukan dalam konteks sebagai dua orang yang pernah saling sayang pun, aku masih punya banyak urusan sama dia. Akademik, organisasi….. you name it.”
                
“Tapi kan kal..” aku tidak tahu dia akan membalasku dengan kalimat apa, karena sebelum selesai dia berbicara, aku sudah memotongnya.
                
“Satu lagi, aku nggak bikin-bikin alasan,” kataku jujur.
               
Dia diam. Aku pun diam. Kami sama-sama tidak menemukan satu kata pun untuk diucapkan.
                
Sebelum keheningan ini membuat aku gila, aku harus melakukan sesuatu. Aku harus menyelamatkan kenyataan yang sudah terjadi sebelum semuanya hilang menjadi mimpi.
                
Ku raih kembali tas ranselku dan ku buka resetling-nya. Ku raih tas plastik putih itu lalu ku ambil novel Murakami dari dalamnya. Ku buka segelnya dan ku buka halaman pertamanya.
                
Aku mendongak. Aku tahu lelaki itu sama sekali tidak melepaskan pandangannya dariku.
               
 “Aku berubah pikiran. I’ll take the journey. At least, sebelum aku ngejudge kemana-mana, ada baiknya kan kalau aku coba dulu?” aku meninggalkan senyum sebelum mengembalikan pandanganku pada novel itu.

“Ta,” lelaki itu mengembalikan pandanganku kembali kepadanya. Namun kali ini, aku bisa melihat senyuman di wajahnya. Senyum pertamanya hari ini untukku.

Senyum yang tiba-tiba membangkitkan keberanianku untuk bertanya, “What? Do you want to take the journey with me?

Hey, I’m the man right here. Why do you always be the one asking?”

*****
               
Sudah enam bulan sejak aku kembali dari Sabang dan aku menjalani hari-hariku dengan arah yang sama seperti apa yang aku pikirkan sejak di Bandara.
               
Kuliah. Duduk, mendengar, mencatat, bertemu teman-teman dan menghadapi kenyataan. Meninggalkan dua bulan yang berlalu di Sabang sebagai mimpi.

Ya, dia bukan buku yang ingin aku baca sampai akhir. Begitu juga dengan aku.
                
Tapi untuk mengetahuinya, kita memang perlu mengambil kesempatan.

Kesempatan untuk mencoba.

Comments