Somewhat Like Quarter Life-Crisis


Tidak terasa sudah menginjak semester ke 7 saya menjadi mahasiswi. When I said 'tidak terasa', I really means that. Masa kuliah ini, buat saya, rasanya cepat sekali. 

Menyenangkan? Ya, tentu saja. Mendapatkan kesempatan menuntut ilmu di Fakultas Ekonomika dan Bisnis terbaik di Indonesia tentu saja adalah suatu kehormatan. Suatu kehormatan yang dalam beberapa presepektif bisa dibilang saya sia-siakan.

Bisa dibilang saya benar-benar merasakan menjadi seorang mahasiswi yang sebenar-benarnya mahasiswi adalah sewaktu saya menginjakan semester 6. Ya, betapa terlambatnya. 5 semester yang lalu saya habiskan dengan sibuk berorganisasi dan bergabung dengan kepanitaan acara-acara kampus. 5 semester memprioritaskan kuliah di bawah hal-hal yang seharusnya menjadi ekstrakulikuler.

Apa saya menyesal? Tidak. Tidak akan pernah. Walaupun ada yang mengatakan 5 semester saya sia-sia, juga ada yang bilang saya terlalu lama berada di comfort zone, ada juga yang mengatakan bahwa saya hanya menjadi 'ikan besar di kolam yang kecil', tapi saya benar-benar tidak merasa menyesal. Karena 5 semester itu lah yang membuat saya menjadi saya yang hari ini. Karena 5 semester itu lah yang membuat saya mengenali diri saya hari ini. 

Saya benar-benar terbangun dari 'tidur panjang' saya dibidang akademik dan mendapati diri saya berada di tempat yang salah ketika saya benar-benar fokus kuliah. Ya, saya frustasi karena ternyata hanya dengan fokus kuliah saja pun, saya tetap tidak mengerti apa yang sedang diajarkan. Bahwa ternyata hanya dengan fokus kuliah saja pun tetap saya tidak bisa mendapatkan nilai yang maksimal. 

Tepat di semester ke 6 saya di bangku kuliah, saya benar-benar merasa tertampar dan sampai pada suatu kesimpulan, saya tidak bisa dan yah, saya benar-benar tidak menyukai apa yang sedang saya pelajari.

Tidak ada yang memaksa saya untuk berkuliah di tempat saya berkuliah sekarang. Saya bahkan memimpikan betapa indahnya masa depan saya jika bisa mengenyam pendidikan di tempat saya berkuliah sekarang. Segala keputusan yang saya ambil adalah sepenuhnya tanggung jawab saya. 

Tapi ternyata dengan mewujudkan khayalan itu, saya melupakan mimpi yang saya bangun bahkan sebelum saya mengenal tempat saya kuliah. Nama besar fakultas dan jurusan saya ternyata cukup berhasil menutup mata saya dan membuat saya memutuskan untuk mengganti mimpi. Its all my responsibility when I cant stand on my dream since I was a kid. Saya terlalu takut memperjuangkan mimpi saya yang terdengar tidak ada apa-apanya dibandingkan iming-iming prestige dan materi yang tidak pasti.

Kesadaran yang menampar saya tersebut membuat saya benar-benar berpikir serius tentang masa depan saya. Saya tidak mau menyiksa diri saya dengan hal yang tidak saya suka demi prestige. Saya ingin mengganti dan membayar waktu yang telah saya habiskan untuk 'tidur panjang' itu, yang membuat progress realisasi mimpi saya yang sebenarnya tidak berjalan kemana-mana.  Ya, sekarang saya tidak takut lagi dengan idealisme dan mimpi-mimpi saya yang dulu. Saya ingin mewujudkannya, saya ingin merasakannya. 

Saya percaya Tuhan tidak tidur. Saya pun percaya Tuhan begitu baik. Buktinya Tuhan memberikan saya pekerjaan part-time di perusahaan yang sudah saya kagumi sejak lama, PT Bentang Pustaka.

Tidak banyak yang bisa saya kerjakan di sana, tapi apa yang saya dapatkan selama di sana cukup untuk bekal saya meraba dan melihat mimpi saya. Walaupun membuat hari saya melelahkan, tapi sungguh merupakan suatu kesempatan yang berharga bisa menjadi bagian dari PT Bentang Pustaka.

Saya di meja kerja saya di PT. Bentang Pustaka

Lalu saat ini, berbagai pikiran kembali berseliweran di kepala saya. Apakah yang saya pikir mimpi ini adalah hal yang benar-benar saya ingin kan?

Saya bukan pribadi yang sama dengan saya yang dulu belum pernah mengenyam pendidikan di tempat saya berkuliah sekarang. Ternyata hal itu mempengaruhi idealisme saya dalam bermimpi. Saya juga ternyata bukan pribadi yang sama dengan saya yang beberapa bulan lalu belum pernah merasakan bekerja di industri yang selalu saya inginkan. Dan ternyata hal itu juga mempengaruhi idelisme saya dalam bekerja dan berkarya.

Saya tahu, ada yang sedang ingin Tuhan sampaikan pada saya terkait masa depan. Dan saya benar-benar merasa bersyukur karena Tuhan berusaha menyampaikannya pada saya saat ini, bukan kemarin ataupun besok. Saya ngeri saja membayangkan kalau pengalaman ini terjadi setahun lagi, ketika saya sudah lulus dan menandatangani kotrak kerja yang kurun waktunya tentu lebih lama dari 3 bulan.

Tidak ada yang salah dengan mencoba hal yang selama ini ada dalam pikiran kita. Tidak ada yang salah dengan berubahnya pandangan kita bahkan terhadap diri kita sendiri. Tidak ada yang salah dengan berproses. Karena proses itu lah yang akan membuat kita semakin mengenali diri kita sendiri. Saya sekarang mengerti apa yang selama ini orang bilang: proses mencari jati diri. 

Untuk menutup tulisan ini, saya ingin mengutip sebuah kalimat yang membuat saya bangkit dari setiap fase krisis yang saya rasakan dalam proses pencarian jati diri ini

No, you won’t always get what you want.  And no, you won’t always be exactly where you want to be.  But remember this: There are lots of people who will never have what you have right now.  So use pain, frustration and inconvenience to motivate you rather than annoy you.  You are in control of the way you look at life. - Marc and Angel

Well, himnae for your life, pals! :)

Comments