Kissin' You

.....When I’m kissing you it all starts making sense And all the questions I’ve been asking in my head Like, "Are you the one? Should I really trust?" Crystal clear it becomes when I’m kissing you- Kissin' You by Miranda Cosgrove


“Reyna! Ya Tuhan……”

 Sesosok lelaki berperawakan tidak terlalu tinggi menghambur ke arah Reyna tepat ketika gadis itu mencapai  pagar depan rumahnya yang tidak tertutup. Membuat Reyna mendongakkan leher yang sedari tadi ia tundukan dalam perjalanannya menuju rumah. Vino, seseorang yang sangat tidak ia harapkan ada di beranda rumahnya saat ini sedang menyambutnya. Menatap dirinya dengan kekhawatiran yang sarat terpancar dari kedua bola mata coklat tua. 

“Kamu naik apa? Ya Tuhanku kamu jalan dari Sudirman?” Tanya lelaki itu lagi sambil menyisir rambut pendeknya yang lurus dengan jemari lalu menekan rambutnya kuat-kuat, tanda ia benar-benar frustasi.


Dari air mukanya, Reyna dapat memastikan bahwa ia telah membuat Vino benar benar menunggunya dengan cemas. Tapi gadis itu tidak peduli. Ia sungguh tidak ingin bertemu lelaki ini. Apalagi sekarang, dalam kondisinya yang  berlinang air mata dan sembab seperti ini. 

“Kamu…. kok disini?” hanya kata-kata itu yang mampu meluncur dari mulut Reyna. Sengaja, jika bisa ia tidak ingin mengeluarkan satu katapun agar lelaki dihadapannya tidak bisa menangkap suara serak-khas-pasca-menangis-nya.

Reyna melihat Vino menghela napas. Ada emosi yang sedang ia tahan terlihat dari sekedar helaan napasnya saja. Sepertinya banyak hal yang ingin lelaki itu sampaikan pada dirinya.

“Karena aku nggak tau harus kemana lagi aku bisa cari kamu, Reyna,” jawab lelaki itu.

“Kamu ngapain nyariin aku?” tanya Reyna. Nadanya lebih seperti menantang daripada bertanya.

“Siapa yang nggak khawatir kalau tiba-tiba kamu lari sambil nangis dari kafe kaya begitu tadi?” 
Reyna dapat melihat Vino menyesali ledakan emosinya barusan.

Reyna tertunduk. Dipandanginya sepasang kakinya yang dibalut wedges lima centimeter. Sepasang kaki itu baru saja berjalan sekitar 8 KM. Hebatnya, ia tidak merasakan sakit sama sekali. Emosi dan kesedihannya pasti telah menjadi energy tersendiri untuk kakinya. 

Emosi. Kesal. Sedih. Kecewa. Entah perasaan apalagi yang menggerogoti hatinya ketika tadi ia menemukan Vino, lelaki yang amat dirindukannya ini memberikan bunga kepada seorang gadis di kafe tempat ia dan Vino berjanji untuk bertemu.

Perlahan air mata yang sempat kering kembali mengalir dari pelupuk mata gadis itu. Tergambar jelas dikepalanya hari-hari yang ia habiskan dengan Vino dua bulan belakangan ini. Bagaimana lelaki itu tersenyum. Bagaimana lelaki itu membuatnya tersenyum. Dan bagaimana lelaki itu merenggut senyum di bibirnya lalu menggantinya dengan tangis.

Reyna mengenal Vino sudah lama sekali. Vino adalah kakak angkatan dua tingkat ketika mereka masih SMA.  Tapi takdir mendekatkan mereka dengan mempertemukan mereka kembali ketika dua bulan yang lalu Reyna membeli handphone di sebuah counter. Ketika itu Vino sedang menunggu panggilan kerja dengan mengisi waktu berdagang ponsel di counter milik kakak sepupunya. 

Berawal dari transaksi jual beli, transaksi tukar nomer handphone pun terjadi. Sosok Vino yang menyenangkan dan penuh tawa berhasil mewarnai hari-hari Reyna hingga gadis itu akhirnya mengiyakan ajakan-ajakan Vino untuk menemaninya makan siang ataupun makan malam. Reyna juga tidak lagi menolak ketika lelaki itu menawarkan tumpangan ketika ia akan berangkat ke kampus. Ia bisa melihat ketulusan di raut Vino. Ia juga selalu senang melihat bahagia terpancar di wajah tampan itu setiap kali bertemu dengannya. Perasaan hangat yang menjalar di hati Reyna setiap kali pikiran bahwa ada seorang lelaki yang akan bahagia jika bertemu dengannya membuat setiap detiknya menjadi senyuman, membuat gadis itu selalu menantikan pertemuan demi pertemuan selanjutnya.

Namun, secepat Vino melukis tawa Reyna, secepat itu pula lelaki itu menghapusnya. Sebulan kemudian, ketika akhirnya Vino mendapat panggilan kerja di sebuah kantor konsultan di Jakarta, kebersamaan mereka pun menjadi korbannya. Tak ada lagi waktu yang bisa dihabiskan bersama. Kesibukan Vino dikantor barunya membuat ia tidak bisa lagi setiap waktu bertukar pesan dengan Reyna. Jam kerja Vino yang over-hour semakin memperburuk keadaan, karena lelaki itu jadi tidak bisa menerima telepon Reyna bahkan ketika malam tiba. Jangankan untuk telepon, untuk sekedar tidur saja Vino harus mencari waktu. 

Semenjak itu hari-hari Reyna hanya dihabiskan dengan menatap layar ponselnya penuh harap. Harapan agar kabar itu segera datang. Kabar apa saja. Tidak tahu apa-apa tentang lelaki itu sungguh membuat Reyna gila. Pikiran pikiran buruk selalu saja datang menghampiri gadis itu. Apakah Vino sakit? Apakah teman-teman baru Vino menerimanya dengan baik? Bagaimana dengan bos barunya? Apakah ia galak? Apakah ia menyiksa Vino dengan bertumpuk-tumpuk pekerjaan? Apakah Vino makan dengan baik? Berbagai macam pertanyaan berkecamuk. Namun tidak ada yang dapat dilakukan gadis itu selain mendoakannya dari jauh.

Tiga minggu kemudian, di garis batas kewarasan Reyna, akhirnya Vino memberi kabar. Sepupu Vino, yang memiliki toko ponsel itu tiba-tiba datang ke rumah Reyna hanya untuk memberi tahunya bahwa Vino akan pulang sebentar ke Jogja dan ingin menemui Reyna malam itu juga setelah lelaki itu mendarat. Ia akan menemui Reyna di sebuah kafe di Jl. Sudirman pukul 19.00. 

Mendengar kabar itu, hati Reyna bagai tersiram air dingin. Senyuman tidak berhenti merekah di wajahnya sepanjang hari itu. Dadanya berdebar. Memompa semangatnya agar tampil lebih cantik untuk menemui lelaki yang amat sangat dirindukannya itu nanti malam. Make up tipis namun segar ia poleskan diwajah cantiknya. Sebuah dress selutut bermotif bunga ia pakaikan pada tubuhnya yang langsing. Tak lupa wedges 5 cm nya yang berwarna biru serasi dengan dress yang gadis itu kenakan. 
Vino memberi tahu agar Reyna tidak usah membawa kendaraan sendiri karena lelaki itu akan mengantarnya pulang nanti, jadi ia meminta kakaknya untuk mengatarnya sampai di kafe tempat mereka akan bertemu.

Betapa terkejut dan hancur hari Reyna ketika sejurus kemudian ia memasuki kafe itu dan menemukan Vino sedang bersama seorang gadis dan memberikan sebuket bunga mawar untuk gadis itu. Melihat senyum manis tersungging diwajah gadis didepan Vino membuat air mata menetes begitu saja di pipi Reyna. Tak pernah terbesit sama sekali dibenaknya bahwa ketiadaan kabar dari Vino selama ini disebabkan adanya gadis lain, dan bukan urusan pekerjaan. Tanpa berpikir panjang ia berlari meninggalkan tempat itu.

“Reyna, tolong lihat aku,” ucap Vino menyadarkan Reyna dari lamunannya. 

Reyna mendongak menatap wajah Vino seperti apa yang lelaki itu minta. Dikerjapkannya kedua matanya untuk menyingkap air mata agar dapat melihat Vino lebih jelas. Raut frustasi adalah satu-satunya yang ia temukan dari wajah yang kini sedang menghadap tepat kearah wajahnya itu.

“Udahlah Vin, kamu punya waktu cuma sebentarkan di Jogja? Ngapain kamu buang waktumu disini?  Manfaatin sebaik mungkinlah sama cewek kamu itu!” Geram Reyna tanpa menyembunyikan emosinya sama sekali.

“Rey….”

“Harusnya aku tu sadar dari awal ya Vin, kamu nggak ada kabar tiga minggu itu garagara emang aku udah nggak diundang lagi dihidupmu. Harusnya aku sadar dan berenti berharap” potong Reyna tidak peduli.

“Rey aku….”

“Asal kamu tau ya Vino, setiap hari aku tu nungguin kabarmu. Aku kepengen tau apa kamu baik-baik aja disana. Aku benar-benar percaya bahwa kamu sibuk Vin. Bodo banget ya aku?” ungkap Reyna lagi. Air mata kini sudah deras mengaliri pipinya.

“Aku…..” 

“Kamu tau, aku seneng banget kamu pulang dan mau nemuin aku. Aku, Vin. Bukan orang lain. Ternyata.....” 

“Bukan Rey.. I– itu…” Vino sudah tidak tahu lagi bagaimana menghentikan emosi gadis dihadapannya yang selalu memotong penjelasannya itu.

“Vino, apapun alasan kamu ngundang aku ke kafe itu, maaf aku pulang duluan dengan cara kaya gitu. Mending sekarang kamu pulang. Aku nggak mau ketemu sama ka….” 

“REYNA DENGERIN AKU!” bentak Vino akhirnya.

Reyna terdiam dari luapan emosinya. Jantungnya berdebar lebih kencang karena terkejut dengan bentakan Vino barusan. Vino tidak pernah melakukan itu sebelumnya. Kedua bola mata penuh air mata Reyna menangkap keresahan di wajah lawan bicaranya.

“Nggak ada perempuan lain buat aku, Reyna. Cuma kamu. Yang kamu lihat di kafe tadi itu Silla, adikku yang kerja parttime disana. Dia yang beli bunga itu buat kamu karena aku nggak mungkin sempet beli bunga dulu sebelum ke kafe soalnya pesawatnya delay, aku nggak mau kamu nunggu aku,”

Masih dengan air mata berlinang, gadis itu menatap lelaki didepannya dengan heran. Sekali lagi lelaki ini membuatnya bertanya. Sekali lagi lelaki ini membuatnya merasa penting. Haruskah Reyna mempercayainya?

“Aku dateng kesini, saat ini alasannya cuma satu, kamu. Aku kangen sama kamu. Kangen denger suaramu,”

Tidak! Jerit gadis itu dalam hati. Tidak lagi ia akan masuk dan terpenjara dalam kepercayaan dirinya bahwa ia spesial bagi lelaki itu. Toh sudah kesekian kalinya lelaki ini datang dan pergi dalam hidupnya. Haruskah ia membuka pintu hatinya kembali dan jatuh lagi?

“Bohong. Kamu bahkan nggak ada effort buat hubungin aku, kamu bilang kamu kangen?”

“Handphone aku dicuri, Rey. Ini aku pinjem handphone punya temen aku,” jawab Vino seraya merogoh sakunya. Dikeluarkannya sebentuk handphone berlayar hitam putih model lama. “Nggak ada nomer kamunya. Aku nggak hapal. Aku cuma inget nomer gerai ponsel sepupuku sama nomer keluargaku aja. Selain itu, aku gunain cuma buat kepentingan kantor,” 

Keduanya terdiam. Sedetik… dua detik… Reyna dapat merasakan emosinya meluruh. Antara percaya dan tidak percaya akan penjelasan Vino. Ia benar-benar tidak tahu apakah harus mempercayai lelaki ini atau tidak. Jika memang benar apa yang dikatakan Vino, tentu saja ia benar spesial bagi lelaki itu. Bayangkan saja, Vino rela terbang dari Jakarta ke Jogja hanya untuk menemuinya! Itu adalah hal termanis yang pernah dilakukan seorang pria terhadapnya.

Tanpa diduga Reyna, tiba-tiba lelaki dihadapannya ini meraih kedua tangannya. Reyna dapat merasakan kehangatan menjalar melalui telapak tangan Vino, melewati pembuluh darahnya, mengalir bersama aliran darah menuju jantungngya, sehingga jantung itu berdetak lebih cepat daripada sebelumnya.

“Aku sayang sama kamu, Ray. Sayang banget,” Ucap Vino penuh kesungguhan. Kedua bola mata Vino mengunci pandangan lawan bicaranya. Ada ketulusan dan kelegaan yang menguar bersama kata-kata yang baru saja terucap.

Reyna yakin ia telah berhasil terhipnotis oleh pesona Vino ketika ia tidak menyadari jarak yang 
semakin sempit di antara mereka. Perlahan, wajah tampan di hadapannya mulai mendekat. Saking dekatnya ia sampai dapat merasakan hembusan napas Vino mendarat di wajahnya. 

Kedua kelopak mata Reyna refleks menutup saat dirasakannya sebuah kelembutan menyentuh bibirnya. Kelembutan yang menghidupkan segala sengatan listrik yang ada di tubuh gadis itu, membuat kaki-kakinya lemas seolah tak mampu menumpu tubuhnya untuk tetap tegak. Kelembutan yang penuh emosi namun tidak memaksa. Membuat ia terlena dan terhipnotis. Membuat ia membalas kenikmatan itu.

Waktu rasanya berhenti, segalanya terasa membeku. Hanya ada gadis itu dan lelaki yang dirindukannya teramat sangat. Segala kekecewaan dan ketiadaan rasanya sudah tidak berarti lagi. Segala kekhawatiran rasanya sudah tidak ada lagi. Segala pertanyaan rasanya sudah terjawab. 
Kata orang, sebuah ciuman adalah alat detector cinta yang paling ampuh. Bagaimana seluruh partikel tubuh akan bereaksi sebagaimana hati bicara. Seluruh pertanyaan dan jawaban ada disana. 

Ya, lelaki itu memang menyayanginnya. Lelaki itu memang merindukannya. 

Setidaknya jawaban itu yang didapat Reyna saat ini. Persetan akan efek hipnotis ini, ia cukup yakin hatinya dapat membedakan yang mana yang sungguhan dan yang tidak. Dan yah, hatinya percaya.

Genggaman tangan Vino mengendur pada kedua telapak tangan Reyna dan akhirnya benar benar melepaskannya, menggantinya menjadi sebuah pelukan. Pelukan yang hangat. Pelukan yang rasanya tak ingin Reyna lepaskan selamanya karena ia merasa sangat aman dan nyaman berada di dalamnya. 
Tanpa melepaskan pelukan, perlahan keduanya saling melepaskan pagutan masing masing. Mata mereka bertemu. Ada senyuman yang tergambar diwajah Vino, menatap Reyna dengan penuh sayang dan bahagia. Reyna berani bertaruh pipinya pasti saat ini sedang merona merah.

“Kamu juga sayang aku kan?” seloroh Vino telak. Seringai jahil kini mengganti segala kelembutan diwajahnya.

“Ih,” kata Reyna menyembunyikan debar jantungnya.

Vino tergelak. Dieratkannnya pelukannya kepada gadis itu. Kini dagunya tengah menyentuh puncak kepala gadis dihadapannya. 

“Maaf ya Rey, jangan marah lagi,” ucap Vino masih memeluk Reyna erat.

Hanya sebuah gumaman tidak jelas yang dapat Vino dengar dari gadis dalam dekapannya itu sebagai jawaban. 

“Rey,” panggil Vino.

“Ya?” 

“Mmm……”

“Apa?”

“Rey, jadi pacarku ya?”

“Hah?” Reyna mendongak, melepaskan pelukan hangat itu. Gadis itu yakin ia tengah berhalusinasi karena terlalu nyaman berada dalam pelukan Vino.

“Nggak mau ya?” tanya Vino, sinar matanya meredup.

“Nggak mau apa? Aku nggak denger”

“Harus diulang ya?”

“Ya aku kan nggak denger,”

Reyna melihat keraguan di wajah Vino ketika lelaki itu menghembuskan napasnya agak keras, seolah mencari kekuatan dari angin malam yang berhembus pelan.

Jantung Reyna mulai berparade lagi ketika matanya terkunci kembali oleh tatapan Vino yang intens namun penuh kelembutan.

“Reyna, aku sayang sama kamu. Aku nggak kuat lama-lama nggak denger suaramu. Aku nggak kuat harus wondering kamu lagi ngapain disana selama aku sibuk sama kerjaanku,” Vino menarik napas sejenak lalu meneruskan, “Rey, aku nggak bisa janjiin kamu bahagia sama aku. Aku tau aku nggak bakalan selalu bisa ada buat kamu, tapi satu hal Rey, aku bakalan selalu berusaha sebisa aku untuk bisa bikin kamu bahagia dan untuk nggak menyakiti kamu,”

Vino terhenti. Diraihnya kembali kedua tangan gadis dihadapannya dan lalu digenggamlah kedua tangan itu. “Rey, jadi pacarku, ya?” tanya Vino akhirnya.

Reyna dapat merasakan jantungnya berhenti berdetak dan jutaan kupu-kupu tengah menari di perutnya. Vino tengah menyatakan perasaannya! Semua rasa seperti campur aduk dalam benaknya. Terkejut. Bahagia. Bahagia. Bahagia. Bahagia. 

Ya, bahagia.

Sebuah senyum tersungging diwajah manis Reyna. Mana mungkin ia akan melepas tawaran sebagus ini begitu saja?



**end**

Comments