Second Option

Jadi sekali lagi aku duduk dihadapan layar putih. Berusaha menerjemaahkan rasa menjadi tulisan agar tidak membatu dan menyandung langkahku pada suatu waktu nanti.

Abjad demi abjad ku susun sebelum kemudian ku hapus lagi. Berulang kali. Aku tidak bisa menemukan kata yang mampu merepresentasi. Aku ingin mengutuk dan menghargai.

Ada kalanya dimana sulit sekali memahami diri sendiri. Tidak bisa membedakan mana yang menyenangkan dan mana yang menyakiti. Hanya berjalan tanpa arahan dengan mengatasnamakan suara hati. Lalu ditengah jalan, tiba tiba berhenti. Menyadari. Menangisi. Tapi disisi lain memahami kalau sebenernya tidak bisa berhenti disini dan kembali. Lalu berjalan lagi. Tanpa tahu bagaimana semua ini akan diakhiri.

Ada kalanya dimana pengelihatan mampu menerawang finish. Mengetahui bahwa semua yang dilakukan ini akan nihil. Bahkan, lahir dan batin akan termutilasi. Tapi mata hati telah tertutup obsesi. Pikiran telah terbius sugesti. Tidak akan ada yang menjamin esok pagi. We are living in the present, why worry about future? Sehingga kesalahan kini memiliki alibi.

Ada kalanya dimana yang bisa dilakukan hanya berpikir baik. Bahwa yang dicari adalah proses menuju titik. Lalu aku mengerti, aku tidak akan sama lagi. Mungkin kemenangan pantas diberikan untuk aku yang baru pada saatnya nanti.

Bukankah Tuhan tidak akan pernah pergi?

Comments