[Life] Tentang Pertanyaan di Kepala


Bagaimana ya caranya menjelaskan ini semua?  Banyak hal yang terlalu berantakan di kepalaku yang begitu ingin aku urai dan aku tumpahkan sesederhana mungkin. Karena ya, aku memang membutuhkannya. Sebuah wahana bercerita yang apa adanya, tanpa pretensi. Jika bisa dilengkapi sepasang mata, itu mungkin lebih baik. Tapi yang aku punya adalah sebuah buku harian online yang sudah menemaniku sejak remaja. Jadi aku bisa sedikit berpura-pura bahwa ada sosok yang benar-benar menyimak dan benar-benar peduli.

Apa memang hidupku sesepi itu?

Bisa iya. Bisa juga tidak. Entahlah.

Aku bekerja, setiap hari aku dikelilingi manusia. Aku punya aktivitas rutin sepulang kerja, aku bertemu manusia. Aku bersuara, tapi tidak pernah benar-benar bicara.

Mereka yang kulabeli sahabat juga punya hidup mereka. Janji bertemu yang hanya jadi rencana itu sudah biasa. Pertemuan yang berakhir menjadi gambar dan tawa kosong juga sudah biasa. Setidaknya ada kabar, semua baik saja.

Apa itu mengganggu? Tidak juga. Pada sebuah rumah, aku kembali. Pada sepasang mata seorang ayah, aku menatap dan berteduh. Pada sepasang telinga, suaraku didengar. Pada pesan-pesan seorang adik, tawaku lepas. Pada secarik doa seorang ibu, keberuntungan menyertaiku.

Atas izin Allah, semua baik saja. Semua aman. Hanya suara di kepalaku saja yang tak mau diam.

Setiap hari aku selalu dihantui pertanyaan, “Apakah keputusan yang kuambil sudah benar?

Sampai hari ini pun aku tidak pernah tahu jawabannya. Yang aku tahu, setiap kali ada kesempatan untuk mengubah hidupku, aku selalu menolaknya. Tetek bengek idealisme, prinsip dan antek-anteknya selalu ada di garda terdepan otakku. Aku tidak pernah punya keinginan untuk menyingkirkannya, karena menurutku, prinsiplah yang harus aku pertahankan di tengah carut-marut dunia ini.

Aku sering merasa miskin, secara materi atau rohani. Aku sering merasa berbeda dengan dunia di sekitarku karena keputusan-keputusan yang aku ambil. Anehnya, hal-hal itu tidak pernah membuatku merasa bersalah. Logikaku hanya selalu bertanya, “Apa ini semua tidak apa-apa?

Aku sering merasa terlambat. Aku sering merasa tertinggal. Bukan dengan orang lain, tapi dengan diriku sendiri. Aku terlambat karena baru benar-benar tahu apa yang penting untuk hidupku. Aku tertinggal, aku sering sekali merasa waktuku tak banyak untuk segala hal yang ingin aku kejar. Poin terlucu adalah, selama ini seolah aku sudah benar-benar tahu tentang hidupku padahal sepertinya aku baru saja tahu, punya kemauan dan berani melangkah ke tujuanku.

Hari ini, saat aku sedang menuliskan tulisan ini, usiaku 29 tahun. Jika rata-rata umur manusia 60 tahun, artinya aku sudah menjalani separuh jatah umurku. Segala hal yang aku punya dan yang belum aku punya terasa terlalu menyeramkan untuk dipikirkan. Rasanya seperti aku sudah menyia-nyiakan waktu, walau dalam hati kecilku aku tahu aku sudah berjalan jauh, aku sudah belajar banyak. Aku pun bangga pada diriku karena walau pun perjalananku selambat siput, tapi setidaknya aku tidak tersesat dan aku punya hal-hal yang aku butuhkan.

Saat aku menemui diriku di masa lalu, aku selalu takut bertanya kepadanya, “Apakah kecewa kepada aku yang sekarang?

Jawabannya pasti iya. Tapi, Finta di masa lalu tidak tahu apa yang sudah terjadi dengan Finta di jaman sekarang. Bahkan, bisa saja dia tidak kenal sama sekali. Aku bisa seyakin itu karena setiap kali aku melihat bayanganku di cermin, aku seperti tidak melihat diriku yang lalu. Aku berubah. Buruk atau baik itu prespektif.

Tapi apa perubahan itu membuatku bahagia?

Ya. Aku bahkan bersyukur. Suatu rasa yang tak dipahami oleh seorang Finta di masa lalu. Karena itulah, walau terseok-seok dan penuh tanda tanya, aku tetap berjalan. Sebuah perjalanan yang hanya aku yang tahu garis akhirnya, tentunya diiringi dengan ridho Allah Yang Esa.

Pertanyaan-pertanyaan itu akan selalu ada mengiringi setiap episode hidupku. Tapi pertanyaan besarnya, apakah pertanyaan itu benar-benar harus terjawab?

 

 


Comments