[Life] Memasak: Sebuah Terapi Psikologis

Aku nggak suka masak. Se-enggak suka itu. Lebih parahnya, bahkan aku takut banget sama pisau. Aku bisa merinding banget kalau dekat pisau, jantungku berdetak lebih cepat, terkadang sampai nangis. Orang tuaku tahu mengenai ini, dan mereka nggak pernah memaksaku sekali pun untuk masak. Di rumah, bahkan kami langganan catering. Waktu KKN dulu, kalau ada saat di mana teman-temanku membantu warga di dapur, aku memilih pergi. 

Selama 25 tahun, kata masak bukan suatu kata yang aku bayangkan akan ada dalam kamus hidupku. Sampai pada suatu hari aku memutuskan untuk mengalahkan diriku sendiri dan berakhir benar-benar jatuh cinta dengan kegiatan berbasis di dapur itu.

Kok bisa? 

Iya, semua berawal dari saat aku pergi ke psikolog. Pada saat itu, aku sedang sangat sedih dan depresi. Salah satu terapi yang disarankan oleh sang psikolog adalah suatu hal yang berkaitan dengan menulis. Aku kira melakukan terapi itu akan sangat mudah, mengingat menulis memang selalu menjadi terapiku.

Tapi ternyata nggak, tiba-tiba nggak satu katapun muncul di kepalaku. Bukannya makin fresh, aku malah jadi makin pusing karena nggak bisa menulis. 

Di saat itulah aku jadi teringat ibuku. 

Sudah bertahun-tahun aku nggak tinggal dengan ibuku. Hal itu juga membuat aku jadi nggak pernah lagi merasakan bentuk kehangatan terkecil tapi termanjur yang adalah berupa masakan ibu. 

Jadi, kenapa nggak coba memasak sesuatu yang dulu sering ibu buatkan buat aku? Siapa tahu aku bisa jadi lebih segar. Lagi pula, salah satu pola yang aku punya setiap kali aku merasa sedih adalah aku selalu mencoba untuk mengalahkan diriku sendiri. Mungkin dengan memasak, mengalahkan ketakutanku sendiri terhadap pisau dapur, aku bisa merasa lebih baik.

Langkah pertama, aku menelpon ibuku dan menanyakan seluruh bumbu rahasia dan bagaimana cara membuat makanan favoritku waktu aku kecil dulu. Dan taraaaaaaaaaaaa beberapa jam kemudian, jadilah duplikasi Sup Tomat ala Ibuku versiku!

Sup Tomat ala Ibuku. Gambarnya nggak bagus karena memang nggak terbayang akan kubuatkan blog post. Foto ini diambil hanya dalam rangka untuk dikirimkan ke Ibuku via WA.

Surprisingly, setelah menyantap Sup Tomat itu, aku merasa jauh lebih baik. Rasanya seperti ada yg membuncah di dadaku. Setelah lama nggak bisa senyum dan bahagia, hari itu aku rasanya seperti terlahir kembali.

Aku bisa bilang kalau aku sangat menikmati acara memasakku. Memasak membuatku “being in the moment”, mungkin karena kesadaran sensorik penting dalam menjaga keamanan saat berhadapan dengan benda-benda panas dan tajam. Aku menikmati saat-saat mendebarkanku berinteraksi dengan pisau. Rasanya pikiranku diam di tempat. Aku hanya fokus dan konsentrasi dengan apa yang sedang aku buat.

Setelah prosesnya selesai, aku juga rasanya bahagia sekali karena seperti sudah mencapai suatu milestone tersendiri. Aku merasa mengalahkan diriku sendiri dan completing a mission makes me feel good about myself. Plus rasa masakanku ternyata persis seperti apa yang aku mau, yang aku rindukan.

Sekarang aku benar-benar percaya pada mereka yang bilang kalau memasak bisa menjadi suatu terapi psikologis karena aku benar-benar merasakannya. Sekarang aku jadi memasak setiap weekend. Berpikir mau masak apa, belanja, membersihkan bahan, mengolah dan bahkan membersihkan setelah selesai memasak, semua itu terasa sangat menyenangkan karena dilakukan tanpa paksaan dan tekanan.

Cooking has therapeutic value physically, cognitively, socially and intrapersonally. Physically, cooking requires good movement in shoulders, fingers, wrists, elbow, neck, as well as good overall balance. Adequate muscle strength is needed in upper limbs for lifting, mixing, cutting and chopping.

Begitu kata salah satu artikel tentang Cooking Therapy yang aku baca di Wall Street Journal. Mungkin kamu harus coba!





Ps: My psychologist shed tears when I told her this story. Like seriously I was super touched by her respond. Its not even a mellow story!

Comments