[Life] Letter to Gemini
Dear Gemini,
Aku masih ingat saat terakhir
kali kita bertemu. Matamu membesar, bingung melihat kehadiranku yang tidak
pernah kamu rencanakan. Tapi mau tidak mau kamu harus menerimaku, karena jika
tidak, apa kata dunia terhadap kita nanti?
Aku duduk di sana mendengarkan
kamu bercerita tentang dia. Sadarkah kamu? Ini pertama kalinya aku mendengar
kamu bercerita begitu detil tentang dia di hadapanku.
Malam itu satu-satunya cara untuk
menahan air mataku agar tidak tumpah adalah memasukkan bergelas-gelas air teh
ke dalam tubuhku. Jujur, aku belum pernah minum teh sebanyak itu dalam hidupku.
Gemini, percayalah, aku tidak
pernah menolak air mata itu. Bahkan, mungkin itu lah alasan dibalik kedatanganku. Dan
ya, memang, malam itu telah mengubah segalanya. Malam itu adalah suatu titik
balik bagi hidupku.
Aku ingat, beberapa tahun yang
lalu, sebelum semua kata hilang di antara kita, kamu pernah bilang, “Aku capek
sama tingkahmu yang nggak jelas. Nggak ada apa-apa, aku didiemin tanpa alasan.”
Lalu beberapa waktu kemudian,
kamu tahu alasannya: aku cinta sama kamu dan atas segala kedekatan yang kita
punya, bahkan setelah beberapa kali kamu memintaku menjadi istrimu dalam
pesan-pesan yang kamu tulis, atau kata-kata yang keluar dari mulutmu, toh kita
tidak bersama.
Aneh, ya?
Tapi kamu tahu apa yang lebih
aneh? Yang lebih aneh adalah bahwa sepertinya sampai saat aku membuat tulisan
ini, perasaan itu belum sepenuhnya hilang dari hatiku. Sekarang, ketika hari
bahagiamu dapat dihitung jari, perasaan itu menggerogotiku sampai ke seluruh
atom di dalam tubuhku.
Gemini, aku sudah berhenti
menyalahkan masa lalu. Aku sudah berhenti menelusur dari mana ini semua
berawal. Aku sudah berhenti menetapkanmu sebagai tersangka karena, ya, dicintai
itu bukan dosa. Membahas masa lalu tidak akan pernah membawaku ke mana-mana
kecuali pada ketidakrelaan. Ketidakrelaan bahwa keindahan itu memang pernah
ada, tetapi sudah berlalu.
Aku menganggap pelajaran yang
Tuhan berikan lewat kamu itu indah, Gemini. Tuhan itu Maha Cinta, dan cinta itu
anugerah yang indah.
Dari kamu aku banyak belajar
tentang mencintai. Seberapa besar aku mampu bertindak, berkorban, dan memberi.
Sampai titik mana aku merasa aku telah berlebihan mencintaimu dan mengorbankan
rasa cintaku untuk diriku sendiri. Kapankah perasaan cinta itu lalu berubah
menjadi pamrih. Kapan rasa cinta itu berubah menjadi obsesi dan bergeser keluar
batas. Bagaimana rasa cinta itu lalu berubah menjadi kata-kata jahat. Bagaimana
pengharapan tinggi itu luluh lantak lalu berdiri lagi menjadi benteng kokok
penuh amarah dan dijaga oleh prajurit-prajurit berseragamkan harga diri.
Aku belajar banyak, Gemini. Lalu
pelajaran itu berpadu dengan energi besar yang bersumber dari amarah, berubah
bentuk menjadi karya. Kini, angan-angan masa kecilku untuk melihat namaku ada
di rak-rak toko buku telah menjadi nyata. Untuk jasa besarmu itu, aku belum
sempat mengucapkan terima kasih.
Gemini, di hari ketika aku
memutuskan silaturahmi kita, aku sudah tahu bahwa hari pernikahanmu adalah bom
waktu untukku. Tidak pernah kusangka sebelumnya, bahwa bom itu ternyata memiliki kekuatan yang berlipat-lipat lebih dahsyat daripada perkiraanku.
Aku hancur, Gemini. Aku luluh
lantak. Kamu membuatnya menjadi jauh lebih sulit daripada yang aku sanggup
terima.
Aku tidak memerlukan undanganmu.
Aku tidak memerlukan seragam darimu. Aku tidak memerlukan kedatanganmu ke
rumahku. Aku tidak memerlukan kebaikanmu meski alasannya adalah demi kebaikan
kita berdua. Aku tidak memerlukan semua itu.
Percayalah, semua keanehan yang
aku sebabkan ini akarnya karena semua hal yang paling tidak aku perlukan tergeletak
di pelupuk mataku. Lalu semua reaksi yang kuberikan ini hanyalah cerminan
betapa berantakannya aku saat ini, Gemini.
Namun, aku ingin membereskan semua
ini. Aku ingin berdamai. Aku ingin menyelesaikan semuanya tanpa ada yang
tersisa lagi. Aku ingin membersihkan isi hati dan kepalaku dari amarah, dendam,
ketidak-relaan dan segala emosi negatif lainnya sehingga kata ‘selamat’ bisa
mengalir lancar dari bibirku.
Aku tahu aku tidak bisa tidak
sedih. Aku tidak bisa berpura-pura baik-baik saja meskipun aku ada dalam
kesadaran penuh bahwa yang aku cinta sebenarnya adalah bayanganmu yang ada di
kepalaku, bukan sosokmu yang ada hari ini.
Mungkin itu alasannya Tuhan
meletakkan perasaan di hati, bukan di kepala. Sebab rasa itu tidak rasional,
setidaknya bagiku.
Aku tidak tahu saat ini apa yang
aku rasa, mungkin cinta atau bisa juga obsesi. Yang aku tahu, aku menyayangimu,
Gemini, tidak peduli peran apapun yang kamu mainkan di hadapanku.
Gemini, rasa sayang itu membuat
aku menyadari, bahwa sehancur apapun perasaanku sekarang, setidak ikhlas apapun
aku mengucapkan kata ‘selamat’ untukmu nanti, aku tetap ingin kamu berbahagia
dengan hidup yang kamu pilih.
Berbahagialah. Pergilah
selamanya dari hidupku. Terima kasih sudah bergerak menutup pintu yang ada di
antara kita dengan cara terbaik yang bisa kamu pikirkan. Semoga setelah ini, setelah
aku selesai dengan segala dukaku, aku benar-benar bisa membuka lembaran yang
benar-benar baru.
Yang tersisa ini sudah cukup.
Tidak perlu ada kita lagi.
Meski hanya dalam fantasi.
Comments
Post a Comment
Hai :)
Thank you for reading. Feel free to leave me a comment ya. Anything except spam are welcome. I will definitely reply anything you write for me and visit your site too.