[Life] Sebuah Eksplanasi


"Finta sekarang kerja di mana?"


Halo blog!
Saya rasa sekali lagi saya mengacuhkan keberadaan kamu ya? Maaf kan ya blog, saya jahat sama kamu, saya datang kepada kamu kalau saya lagi depresi saja.

Kali ini saya mau membagi beban pikiran yang paling bercokol di kepala saya, tentang sebuah pertanyaan yang paling nggak bisa saya jawab dengan satu tarikan napas atau ketikan keyboard smartphone dengan alasan paling menyebalkan di dunia ini:

Gengsi.

Silakan judge saya sebagaimana yang anda mau, tapi itu lah yang terjadi sama saya. Dan karena ini blog punya saya, maka biarlah saya mengekplanasi sesuka saya apapun yang menjadi alasan sekaligus beban pikiran saya.

Gengsi saya besar. Dari kecil saya selalu sekolah di sekolah favorit yang ada di kota saya. Saya selalu menargetkan yang terbaik dan saya rela bekerja keras demi hal itu. Selama ini, terbukti kerja keras tidak pernah mengkhianati saya, saya mendapat bangku yang saya targetkan, saya berdiri di tempat yang saya impikan, dan mengangkat piala yang saya perjuangkan.

Semua itu rela saya lakukan atas nama satu kata: gengsi. Prestige.

Apa hal itu membuat saya bahagia? 

Jawabannya adalah ya. Dan tidak.

Pada satu titik saya akan merasa sangat bahagia bisa mencapai apa yang saya targetkan. Saya suka menargetkan sesuatu dan mencapainya. Saya adalah jenis orang yang menikmati proses itu. Selain itu, alasan utama tentu saja keluarga saya. Saya bahagia bisa menjadi kebanggaan mereka.  Tapi tentu saja bukan begitu cara kebahagiaan bekerja. Setelah mencapai titik bahagia itu yang terjadi dalam hidup saya adalah berjuang untuk survive, untuk menjadikan pencapaian saya itu tetap suatu kebahagiaan dan bukannya menikmatinya. Dan dalam titik terlelah saya untuk bertahan, sebuah kesadaran menghantam saya, apakah yang saya targetkan itu adalah sesuatu yang saya mau?

Membingungkan memang, tapi hanya kemunafikan yang akan membuat saya menentang fakta itu.  Saya bahagia bisa memenuhi gengsi saya. Namun saya tidak bahagia karena harus membohongi diri saya sendiri. Saya merasa bersalah kepada diri saya sendiri karena saya mau meninggalkan apa-apa saja yang saya suka demi pandangan orang lain, atau yang lebih buruknya lagi, demi rupiah.

Saya tidak suka ekonomi. Saya tahu itu bahkan sejak pertama kali saya membuka halaman pertama buku pelajaran saya ketika saya SMA. Tapi saya bergelut dengan itu. Saya tinggalkan cerita-cerita dan puisi-puisi saya karena bagi saya yang kala itu masih belia, mereka tidak akan membawa saya kemana-mana. Tidak prestisius. Tidak menjanjikan rupiah.

Belakangan baru saya tahu kalau gengsi, apalagi rupiah, tidak menjanjikan kebahagiaan yang saya mau.

Pertanyaan demi pertanyaan bergelayut dalam pikiran saya. Apa yang sedang saya cari? Dengan siapa kah sebenarnya saya sedang bersaing sehingga harus menjadi yang terbaik bahkan di jalan yang tidak saya senangi?

Jadi saya berbalik arah. Saya putuskan saya sudah selesai dengan segala macam konflik di kepala saya. Saya putuskan saya tidak mau lagi berkubang di kesalahan yang sama. Saya putuskan saya tidak mau lagi menyiksa diri saya. Dan saya putuskan untuk jujur, dan mendengarkan kata hati saya, persetan dengan kata orang-orang.

Lalu saya merangkul kembali apa yang sudah saya tinggalkan bertahun-tahun lamanya. Memulai dari titik nol.

"Finta sekarang kerja di mana?"

Saya tidak tahu apa maksud orang-orang menanyakan pertanyaan ini kepada saya, atau pun kepada orang-orang lainnya. Apakah benar mereka membutuhkan kabar dari saya, peduli terhadap saya atau hanya sedang membandingkan kehidupan mereka dengan saya. Dan jika alasannya hanya basa basi, buat saya, hal itu benar-benar basi, karena untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya tidak bisa dengan bangga membuka mulut saya tentang apa yang sedang saya lakukan.

Tapi jika tidak menjawab pertanyaan itu, buat apa saya mengetik tulisan ini panjang-panjang?

Saya sedang menulis. Saya sedang belajar menulis. Saya sedang mengejar ketertinggalan saya dalam dunia yang saya cintai sepenuhnya. 

Saya tahu di mata orang-orang terdekat saya mereka sedang menyayangkan ijazah dan gelar sarjana ekonomi saya. Tapi di mata saya, saya menyayangkan diri saya apabila saya hanya menghabiskan waktu saya sebagai budak korporat, memperkuat mimpi orang lain, dan membunuh mimpi saya sendiri.

Ada yang bilang saya sedang lari dari kenyataan, tidak mau susah.

Hei, teman, bukankah saya sudah bilang kalau saya memulai dari nol? Saya bahkan mempelajari SEMUA dari NOL. Kamu pikir itu tidak susah?

Ada lagi yang bilang kalau apa yang saya lakukan sebaiknya sebagai sampingan saja.

Teman, di dunia ini ada yang dinamakan dengan prioritas. Tahun-tahun yang sudah berlalu, dengan penjelasan saya yang sebelumnya, saya sudah menghighlight apa yang menjadi prioritas dalam hidup saya dan apa yang jadi terbengkalai. Saya rasa saya tidak akan kemana-mana jika saya harus berjalan dengan mengesampingkan mimpi saya. Lagi.

Saya tidak tahu sampai di angka berapakah umur saya. Jika suatu saat nanti saya meninggalkan dunia ini dengan mewujudkan mimpi orang-orang di sekitar saya, dan bukannya saya sendiri, atau berlari, bersaing dalam perlombaan maya dalam kepala saya, bukan kah saya yang akan menjadi orang paling merugi?

Ini hidup saya, tolong biarkan saya bergerak dalam kuasa saya sendiri.

Sekali lagi saya tekankan, saya tidak bangga. Saya tidak sedang menyombongkan diri. Jika hal ini semudah itu bagi saya, saya akan dengan lantang menjawab pertanyaan di atas tanpa beban, bukannya menuliskan tulisan ini.

Saya bukanlah orang yang mampu dengan mudah menutup telinga saya dari perkataan orang. Saya bukanlah orang yang mampu tetap dingin ketika ada orang yang merendahkan saya dan apa yang saya lakukan. Sedikit banyak saya merasa jatuh, takut, dan trauma atas tanggapan yang diberikan lingkungan saya terhadap pilihan saya. Maka dari itulah pertanyaan itu begitu menyiksa saya.

Tapi di atas itu semua, hati saya mantap. Saya tahu saat ini saya sedang berjalan ke arah yang benar walau memang terjal dan terasa begitu melelahkan.

Biarkan saya masuk ke dalam belantara idealisme saya, biarkan saya tersesat dan menemukan jalan keluar. Biarkan saya menghadiahi hidup saya dengan petualangan yang saya yakini akan berakhir tanpa penyesalan.





 photo ttd_1.png

Comments