Topeng
“Rambut gue baru!” Ucap Nira mengagetkanku. Itu adalah kalimat pertama yang meluncur dari bibirnya ketika dengan tiba-tiba gadis itu muncul di pintu kamarku dan langsung duduk di ranjangku begitu saja tanpa ada salam dan sapaan penanda kedatangannya. Sudah seperti kamarnya sendiri sepertinya.
“Assalamu’alaikum kek, tata krama lo dimana woy?” tandasku sambil mendongakkan wajahku dari laptop yang sedari tadi aku tekuni.
Ku telusuri setiap detail penampakannya dengan mataku. Ya, rambut panjangnya yang dulu kini tinggal sebahu. Sebuah keajaiban pasti sudah menginjeksi otaknya, atau mungkin ketidakwarasan. Seorang Nira yang aku kenal tidak akan merelakan mahkota kebanggaanya dipangkas begitu saja tanpa alasan pendukung yang kuat.
“Liat dong rambut gue! Gimana menurut lo?” kata Nira lagi tanpa memedulikan pertanyaanku sebelumnya. Kedua tangannya menyisir helai-helai rambut hitam kelamnya bak model shampo di tayangan televisi.
Daripada memperhatikan rambutnya, aku lebih memilih memperhatikan senyum di wajahnya. Senyum itu menggantung terlalu lebar. Khas Nira. Nira adalah sosok yang ramah dan selalu tersenyum. Mungkin dia adalah gadis paling ceria yang pernah aku kenal. Adalah sesuatu yang wajar melihatnya heboh dan menebar tawa ketimbang melihatnya acuh. Tawa yang terkadang palsu. Tawa yang ia buat untuk bersembunyi. Atau untuk menghibur dirinya sendiri.
Nira adalah tipikal orang yang tidak akan membiarkan kesedihannya tertangkap mata orang lain. Tapi apalah artinya mengenal gadis ini selama hampir enam tahun jika tidak mampu memandang menembus topeng yang sedang ia kenakan?
“Buang sial kan lo? Kenapa lagi sekarang? Zani ngapain lagi?” Tanyaku terang terangan, langsung melucuti topeng yang ia kenakan.
Nira terdiam. Tangannya berhenti memainkan rambutnya. Perlahan, senyum Nira berubah getir. Matanya menerawang seolah memutar kenangan di dalam pikirannya, membuat sinar di mata itu meredup. Mataku menangkap setitik air mata jatuh dari bola matanya. Air mata yang secepatnya langsung ia usap dengan punggung tangannya.
Tak ku sangka seorang Nira bisa serapuh ini, langsung tumbang dalam satu tebasan. Ku dekatkan dudukku di sampingnya agar aku bisa merengkuh bahu mungilnya.
“Lu bisa pake basa-basi dikit nggak sih? Gue tahu mulut lo nggak ada rem, tapi ya nggak langsung nembak gue tepat sasaran gini kan bisa,” ucap Nira begitu saja.
“Kalo mau nangis, bahu gue dah siap lho, Nir” kataku lembut sambil merangkul gadis itu. Tubuhnya yang tegang tidak menunjukkan penolakan. Dapat kurasakan emosi tertahan yang perlahan melunak dari tubuh yang ada di dalam pelukanku itu. Emosi itu larut bersama air mata yang kini merembes di kaos tidurku.
Inilah Nira yang aku tahu. Gadis itu pernah berseloroh mengatakan bahwa aku bagaikan charger di hidupnya. Ia bebas mengungkapkan segala emosi yang ada dalam dirinya. Tawanya dan tangisnya. Ia bisa gila jika tidak bercerita. Ia bisa gila jika tidak menjadi dirinya. Ia bisa gila jika tidak jujur mengenai apa yang dirasakannya. Hanya kepadaku. Aku merasa bahagia bisa menjadi diriku di saat seperti ini. Aku spesial untuk seseorang. Aku spesial untuk Nira.
“He hugged me, and told me that he needs my explanation for the silent treatment I gave to him,”
Zani lagi. Hanya Zani. Selalu Zani yang ada di kepala Nira. Satu-satunya tersangka yang selalu membuat Nira rajin menggunakan topengnya hingga gila. Satu-satunya inspirasi Nira dalam menyusun rangkaian kata di jejaring sosialnya. Satu-satunya oknum yang membuat pulsa di handphone Nira cepat habis karena rutinitasnya meneleponku hanya untuk membuang sampah di hatinya dan kembali menggunakan topengnya.
Aku benci Zani atas apa yang telah ia perbuat pada Nira. Dan aku membenci segala perasaan Nira terhadap Zani. Aku benci melihat Nira tidak bahagia. Apa sih hebatnya lelaki macam Zani yang bisanya hanya merusak sistem Nira? Mengapa kebahagiaan Zani begitu penting untuknya dan mengapa pula Nira tidak mampu melupakan lelaki itu?
Aku sungguh tidak memahami betapa hebat cinta mampu membuat Nira menjadi mesin produksi air mata yang sangat produktif.
“Otak dia ada apanya sih? Ngarepin gue jawab apa?”
“Lha elu jawab apa Nir?”
Ada jeda dan sesenggukan yang panjang sebelum gadis dalam pelukanku ini akhirnya menjawab, “Because I love him too much,”
“LO GILA NIR? LO JAWAB GITU?” tanyaku takjub.
Nira bukanlah tipikal gadis yang bisa menyatakan cinta dengan mudah. Apalagi dalam kondisi yang sedang ia jalani saat ini dengan Zani. Menyatakan cinta dalam kondisi ini sama saja dengan membunuh dirinya sendiri. Dan Nira terlalu punya otak untuk tidak menghancurkan hidupnya, aku yakin.
Nira tertawa dalam tangisnya. Diangkatnya wajah sembab itu dari pundakku. Ditatapnya wajahku lekat sambil masih tertawa dalam air mata.
“Lo percaya?” tanyanya, mata bengkaknya berkilat iseng.
“Sialan. Sempet ya lu ngerjain gue di saat lagi kaya gini,” tukasku. Kelegaan menjalar diseluruh tubuhku. Thanks God.
Gadis itu menghabiskan sekitar lima belas menit seterusnya untuk melampiaskan emosinya melalui air mata. Masih di bahuku. Menit selanjutnya ia menggapai pemutar DVD di sudut kamarku untuk memainkan film-komedi-entah-apa yang ia sewa sebelumnya dari rental tidak jauh dari rumahnya. Perbekalan katanya. Lalu ia menghabiskan bermenit-menit selanjutnya untuk tertawa terpingkal-pingkal sampai akhirnya tertidur kelelahan.
Sungguh ajaib memang makhluk satu ini. Atau mungkin tidak waras, sama saja. Yang jelas, begitulah rule of the game kehidupan, di satu sisi ia membunuhmu tapi disisi lain ia menuntutmu untuk tetap baik-baik saja. Andai saja menghapus bagian buruk dalam hidup semudah mengganti air mata dengan film komedi.
Kita harus mampu pegang kendali atas mood kita, jangan pernah biarkan mood yang menguasai kita, kata Nira suatu saat. Ya, aku setuju.
Tapi sampai kapan semua ini berputar dalam urutan seperti ini?
Sampai kapan bahu ini harus selalu tegak agar mampu menjadi tempat bersandar?
Masih berapa film komedi lagi yang Nira butuhkan untuk bisa tertawa dan terlelap sampai perasaan itu selesai menggerogoti?
credit for the pict: http://unleashingmyinnerawesome.files.wordpress.com/
Yupz, betul betul, kita harus mengendalikan mood, bukan mood yang mengendalikan kita. Keep strong, Nira! Jadilah gila, namun terus semangat, hehehe
ReplyDeletehahaha terima kasih mbak, nanti saya sampaikan sama Nira ya :)
Delete